Thursday, July 01, 2004

Rest Not In Peace (Tidak Tenang)

A Short Story by Shirley - 2000

Dulu,…tepatnya setahun yang lalu, ini adalah kelasku. Tempat yang penuh kenangan; ada senyum, ada tawa, tapi ada juga tangis dan amarah. Kelas 3 memang saat penuh gejolak, usia kami menginjak 18 tahun dan kami tengah berjuang mencari arah hidup masing-masing. Hanya beberapa anak saja yang sudah merasa yakin benar untuk melangkah, sedangkan sisanya masih terombang-ambing dalam badai ketidakpastian. Aku sendiri entah termasuk yang mana. Di satu sisi aku yakin menjadi dokter adalah cita-cita masa kecilku yang patut diperjuangkan, namun di sisi lain kedua orang tuaku keberatan menanggung biaya pendidikanku. Maklum saja, ayahku seorang wiraswasta yang tak tentu penghasilannya dan ibuku hanya seorang pegawai negeri yang pas-pasan, sedangkan saudara kandungku ada 4 orang (yang tertua masih duduk di kelas 3 SMP). Orang tuaku hanya sanggup membiayaiku untuk ikut kursus keterampilan. Aku mengerti, aku sungguh mengerti dan tidak akan memaksa. Tapi hatiku masih sering kecewa bila melihat teman-temanku yang lain sibuk mendaftarkan diri ke berbagai Perguruan Tinggi. Dan, entah bagaimana, Wali kelasku tiba-tiba mengetahui masalahku. Dia lantas memanggilku dan menyuruhku menceritakan semuanya. Aku, entah karena merasa diperhatikan atau karena sudah tak sanggup menyimpan semua ganjalan di hatiku, akhirnya menceritakan semua masalahku pada Pak Gilbert. Setelah selesai bercerita aku baru sadar kalau aku sudah terlalu cerewet mengungkapkan sisi-sisi kehidupanku, bahkan aku sempat menangis. Aku merasa malu sekali pada guru kimia sekaligus Wali kelasku itu, lantas segera meminta maaf karena telah bicara macam-macam. Tapi ternyata dia malah tersenyum (senyumnya masih terukir jelas di benakku)…lembut sekali. Tatapannya seakan berkata, "Aku mengerti apa yang kau alami…" dan saat itu juga aku merasakan kedamaian. Pak Gilbert berkata kalau ia akan berusaha sebisanya membantuku memperoleh beasiswa, antara lain dengan memberiku les Mafia tambahan. Menurutnya, beasiswa diberikan terutama dengan melihat nilai kelas 3 dan nilai tes masuk. Jadi kalau aku bisa mempertahankan rangkingku saat itu (aku rangking 2) kemungkinan besar aku bisa diterima di jalur beasiswa prestasi atau ekonomi lemah. Setahuku waktu itu memang ada larangan keras bagi guru (apalagi Wali kelas) untuk memberi les tambahan, tapi saat kuingatkan hal itu padanya dia hanya berkata,

"Ya, tapi larangan itu tak berlaku untuk murid istimewa seperti kamu…"

Aku sempat tersipu saat matanya yang tajam menatapku dalam-dalam. Aah, diam-diam kucari tahu latar belakang Pak Gilbert dan aku merasa sedikit bersorak saat mengetahui ia belum beristri ataupun pacaran. Pak Gilbert memang masih sangat muda bila dibandingkan guru-guru yang lain, ia berusia 25 tahun dan pernah 2 tahun mengajar di sebuah SMA kota kecil sebelum akhirnya pindah ke ibukota hingga kini. Dia kemudian memberiku les tambahan, dari satu kali seminggu menjadi tiga kali seminggu, kadang bertempat di sekolah tapi seringkali di rumahnya yang tak jauh juga dari sekolah. Aku tak ingat bagaimana awal mulanya, tiba-tiba kami sudah menjadi sepasang kekasih. Mungkin benar yang dikatakan orang tentang witing tresna jalaran saka kulino. Aku seperti mabuk kepayang oleh cintanya dan waktu itu aku merasa tak ada salahnya, karena toh dia single, hidupnya mapan, tampangnya juga tidak mengecewakan. Bukannya aku tak tahu kalau banyak siswi di sekolahku yang diam-diam mengaguminya dan berusaha menarik perhatiannya. Tapi kepadaku dia berkata, "Mataku kini hanya tertuju padamu." Bisa kaubayangkan gadis perawan tak berpengalaman seperti aku mendapat sanjungan dan rayuan semacam itu…, tak perlu menunggu lama setelah itu…kami berhubungan layaknya sepasang suami-istri. Percintaan pertama kami waktu itu terasa sangat menggetarkan, dan Pak Gilbert seperti langsung membuka mataku pada dunia lain yang selama ini tabu dan hanya dapat kubayangkan lewat cerita-cerita vulgar teman-teman sekelas. Nyatanya seks sama sekali tidak seperti itu, …seks itu tergantung dua orang yang melakukannya. Apabila mereka melakukannya dengan terpaksa maka ia dapat terasa sangat menyiksa dan menjijikkan, tapi apabila ia dilakukan oleh dua orang yang saling mencintai maka ia dapat terasa begitu lembut, dan jelas…ia dapat membuatmu sangat ketagihan. Buktinya setelah hubungan seks pertama kami ada hubungan seks kedua, hubungan seks ketiga dan seterusnya…

Tuhan itu sabar. Dia tidak menghukum umat-Nya yang berbuat salah langsung pada detik itu… pada momen itu, melainkan menunggu pertobatan kita; menunggu, menunggu dan menunggu sampai akhirnya kesalahan itu tidak dapat ditolerir lagi dan kesabaranNya sudah habis… Bila itu terjadi, hukuman yang menimpa kita tidak terbayangkan lagi… Kukira aku mengenalnya, kukira aku mengetahui latar belakangnya, kebiasaannya, sifatnya… tapi nyatanya aku tidak mengetahui apa-apa. Cinta itu buta, benar sekali! Setelah cawu 3 (Pak Gilbert dan aku sudah berhubungan sekitar 5 bulan) aku baru mengetahui kelainannya… Waktu itu malam hari, kami tengah bercumbu di ruangan kelas yang memang kami masuki secara diam-diam, ketika tiba-tiba dia melepas ikat pinggang dari celananya dan mengikat tubuhku di kursi dengan ikat pinggang tersebut. Lalu ia merobek baju seragamku dan mulai bertindak kasar padaku, aku tak dapat menghindar ataupun berteriak karena ia menyumpal mulutku dengan kain. Aku tak berdaya, …tapi waktu itu aku pikir dia sedang stress dan butuh melampiaskan kekesalannya pada sesuatu. Dan gilanya, aku mengira ia akan kembali lemah lembut seperti biasanya lagi. Memang iya, kalau sedang dalam keadaan baik ia sangat menyayangiku, memperhatikanku. Ia bahkan membayar uang sekolahku dan membelikan berbagai keperluanku. Tapi kalau suatu saat nafsu biadabnya kembali, ia akan memaksaku bercinta dengan gayanya yang sok memiliki dan menyakitiku secara fisik. Ketika otak sehatku mulai bekerja dan aku ingin terbebas dari kegilaannya, aku menjadi sangat bingung. Kepada siapa aku harus mengadu? Apakah akan ada orang yang percaya pada ceritaku? Bahkan orang tuaku telah mengetahui hubungan kami dan jelas-jelas menyerahkan aku kepadanya karena ia telah berjanji menikahiku dan memenuhi semua kebutuhanku. Ia memang menepati janjinya, siang itu ia mengajakku mengelilingi sejumlah toko emas untuk mencari cincin pertunangan. Ketika akhirnya ia menemukan yang sesuai, ia memberikannya padaku sambil berlutut di hadapanku,

"Menikahlah denganku, Sis."

Aku tak menjawab permohonannya yang saat itu diajukan di tengah-tengah orang banyak yang berlalu lalang. Kami berdua berusaha tetap tersenyum dan aku berkata dengan pelan,

"Putuskan aku…"

Wajahnya nampak sedikit terheyak tapi ia kembali tersenyum dan menjawab,

"Ayolah, Sis, kita benar-benar cocok satu sama lain."

Cocok apanya? Dia benar-benar berpikir aku bisa menikmati siksaannya? Dasar cowok sakit… Ketika tahu aku tidak mau mengiyakan lamarannya, dengan cepat dimasukkannya cincin 22 karat itu ke jari manis kiriku sambil berbisik manis,

"Aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Sis, ingat kalau kamu kelas 3 dan sebentar lagi akan lulus," aku mengerti benar ancamannya, dan saat itulah aku semakin sadar kalau dia adalah monster yang tertutup wajah simpatik dan pendidikan tinggi. Aku merinding saat ia menggenggam dan mencium tanganku… "Bagaimana aku bisa lepas darinya?" hanya itu yang terlintas di benakku. ***

Hal yang terparah terjadi. Aku hamil. Aku mengandung anak monster itu. Dunia serasa gelap, dan aku merasa seperti terkungkung di kandang singa dan tidak akan pernah bisa keluar. Inginnya lari dari semua ini, tapi siapa yang sudi menerimaku? Sekarang aku hanyalah cewek murahan yang hamil di luar nikah. Meskipun demikian aku berusaha menyembunyikan kehamilanku dari Pak Gilbert (sampai kapanpun aku tak akan bisa memanggilnya "Gilbert"). Aku tak ingin anak tersebut menjadi alasan dia untuk mengikatku. Tapi sehebat-hebatnya aku berusaha menghindar dari lesnya, bolos dari jam pelajarannya, pada akhirnya dia mendengar ‘cerita mual-mual’ku dari beberapa temanku. Memang mereka tidak sampai menyangka aku hamil (apalagi hamil dari Wali kelas sendiri), tapi Pak Gilbert langsung mengetahuinya. Tak heran mengingat seringkali dalam berhubungan kami tidak menggunakan alat pengaman. Ia lalu mendatangiku di rumah dan…membeberkan semuanya pada kedua orang tuaku, lantas berkata akan sepenuhnya bertanggung jawab dengan mengawiniku secepatnya. Orang tuaku lega, tapi aku merasa seakan seluruh dunia runtuh menimpaku. ***

Aku memang ingin menikah. Aku memang ingin punya anak. Tapi tidak seperti ini, tidak dengan seorang sakit seperti dia. Saat untuk kedua kalinya aku minta putus sambil mengancam akan membeberkan semua perbuatannya (aku masih tak percaya dulu aku begitu bodoh), dia hanya tertawa dan mengejek, "Sayang, lihat dirimu. Kamu cukup beruntung ada seorang pria sepertiku yang mau mengawinimu. Siapa yang akan percaya cerita konyol seperti itu, …hey, apakah aku nampak seperti penyiksa? Sekarang tenanglah, lebih baik kita bersenang-senang…," lalu Pak Gilbert mengunci pintu dan menyuruhku melayaninya saat itu juga.

Aku sudah lelah menangis, aku sudah capek bersuara. Aku harus dapat menerima kenyataan bahwa aku memang seorang diri. Dan yang dapat menolong diriku hanyalah aku sendiri. Niat itu semakin kuat setelah aku mengkorek-korek masa lalu Pak Gilbert dan menemukan catatan hitamnya saat masih mengajar di sebuah SMA tak terkenal di Jepara. Dia pernah dituduh melakukan pemerkosaan terhadap salah seorang siswi yang diajarnya. Pemerkosaan tersebut baru dilaporkan setelah berjalan selama 1 tahun, namun karena reputasi Pak Gilbert bersih dan ia selalu berhasil mengelabui orang-orang dengan wajah intelek dan ramah-nya, maka tuduhan tersebut dicabut dan ia hanya perlu membayar sejumlah uang kompensasi yang aku yakin tidak ada artinya bila dibandingkan penderitaan gadis itu. Gadis itu mungkin seumur denganku; dan detik itu aku bersumpah dalam hati kalau Pak Gilbert tidak akan dapat menyakiti gadis-gadis lagi. ***

Rencanaku sudah matang. Aku sudah siap menghadapi segala konsekuensinya. Toh, aku sudah tak punya apa-apa lagi untuk dipertahankan atau diperjuangkan (apakah aku harus kuliah dengan perut buncit nantinya? Aku tidak akan tahan hidup lebih lama lagi dengannya). Aku sudah tidak berharga, dan jauh di dalam hati kecilku aku juga menyalahkan diriku. Karena itu mungkin inilah hukuman yang pantas kujalani. Sore itu Pak Gilbert sedikit terkejut mendapati aku berada di rumahnya, menyambutnya dengan seulas senyum hangat lantas menciumnya. Kami berbincang-bincang sejenak tentang sekolah dan ujian akhir. Aku tahu aku tidak akan melewati semua itu. Tapi dia tidak. Aku berkata ingin menginap hari itu dan memasak untuknya. Dia nampak senang sekali. Maka sementara dia membersihkan diri di kamar mandi, aku memasak untuknya; masakan favoritnya. Kumasak seenak mungkin karena aku tahu saat itulah dia akan memakannya untuk yang terakhir kalinya. Akhirnya setelah matang, kuhidangkan masakan tersebut di meja. Kamu ingin tahu apa yang kumasukkan ke dalamnya? Bubuk obat tidur yang pasti bisa membuatnya tak sadarkan diri selama sekitar setengah jam. Aku sudah mempelajari cara kerjanya dan semua telah kuatur untuk mengatasinya. Tatkala aku menghidangkannya,sempat terbesit perasaan bersalah… Apalagi dia menatapku dengan sangat lembut; betapa aku pernah terbuai oleh mata itu… Pak Gilbert meraih tanganku lantas menarikku ke dalam pelukannya. Kami berciuman sesaat kemudian aku menyuruhnya mencoba masakanku. Lelaki itu menyantapnya, mengunyahnya, menelannya…, dia menyukainya. Aku menunggu reaksi obat itu…1 menit, 2 menit, 3 menit, masih belum bereaksi juga. Aku mulai cemas, bagaimana kalau rencanaku meleset? Bagaimana kalau obatku tidak manjur? Kalau itu terjadi aku terpaksa harus mengambil jalan kasar… Diam-diam kuambil sebuah patung pajangan yang diletakkan di atas lemari es. Tapi baru aku hendak memukulkan patung tersebut ke kepalanya, Pak Gilbert tiba-tiba jatuh tergeletak di lantai. Aku berhasil membuatnya tak sadarkan diri. Cepat-cepat kumanfaatkan waktu yang ada untuk memakai sarung tangan kemudian mengunci pintu depan dan menutup semua korden di rumah itu. Sesudah itu aku menyeret tubuhnya yang besar (dan berat) dengan sisa-sisa tenagaku ke pinggir ruangan, tepat di bawah tangga. Selanjutnya kukeluarkan sebuah tape recorder dari tasku dan kuletakkan tergeletak di sampingnya, lantas…kuambil pisau di dapurnya yang sudah kuasah berulang-ulang sebelumnya dan kuletakkan pisau itu tergenggam di tangan kanannya. Kamu ingin tahu apa yang kulakukan selanjutnya? Aku naik ke lantai 2 untuk menelepon polisi (sebelumnya kedua sarung tanganku kulepas dulu supaya sidik jariku tertinggal di sana), aku berakting seperti orang yang tengah terancam bahaya, berteriak minta tolong lalu dengan tiba-tiba memutuskan hubungan telepon dan membiarkan gagangnya tergantung-gantung. Aku bergegas turun ke lantai satu, membuang sarung tanganku lalu menghampiri tubuh Pak Gilbert yang masih tergeletak tak berdaya. Sekilas kupandangi wajahnya yang rupawan, tubuhnya yang gagah… Jika mengingat kenangan masa lalu rasanya hati ini masih menyimpan sedikit cinta untuknya. Seandainya saja…,yaah, seandainya saja…semuanya berbeda… Waktu itu aku sempat berpikir apabila suatu saat aku terlahir kembali, aku ingin menjadi kekasihnya lagi, tapi setelah ia menjadi orang yang lebih baik… Perlahan-lahan kucium dia, kuambil tangannya yang kini menggenggam pisau dengan ujung pakaian yang kukenakan…

"Selamat tinggal, Pak…"

Tanpa ragu-ragu lagi kutusukkan pisau tajam itu di dekat daerah jantungku. Aku belum pernah merasa kesakitan seperti itu, darah muncrat dari mulutku… Tapi aku masih berusaha membuat rencanaku berjalan mulus, dengan segenap kekuatan yang tersisa padaku kutarik pisau itu lepas dariku dan aku tergeletak berlumuran darah di sampingnya. Tubuh kami kubuat saling bertindihan supaya terlihat habis jatuh dari tangga bersamaan. Saat polisi datang aku masih dapat mendengar sirenenya sebelum akhirnya sama sekali tak sadarkan diri.

Pengadilan memutuskan Pak Gilbert bersalah atas pembunuhan tingkat dua, karena saat polisi tiba di rumahnya ia ditemukan memegang pisau yang berlumuran darahku. Ia segera sadar begitu polisi memberinya bau amoniak dan langsung diborgol menuju penjara setempat. Tuduhan semakin dikuatkan oleh bukti kaset di tape recorder yang berisi cemoohannya padaku saat aku berniat membeberkan kebusukannya. Semua bukti-bukti mengarah padanya; janin di perutku, sidik jarinya di pisau, sidik jariku di gagang telepon, darah di tangan… Maka Jakarta gempar oleh berita pelecehan seksual seorang guru muda terhadap siswanya yang akhirnya menyebabkan pembunuhan keji 2 nyawa (aku dan bayi di perutku). Dunia pendidikan tercemar. Pak Gilbert dijatuhi hukuman seumur hidup dan aku yakin reputasinya tidak akan pernah bersih lagi, karena masyarakat (terutama keluargaku) menghujatnya habis-habisan. Meski sampai detik terakhir ia tetap menyangkal perbuatannya dan mengutuk namaku, tak ada yang percaya padanya. Aku lega karena satu-satunya kelalaianku tidak diketahui; aku lupa membenturkan kepalaku dan kepalanya… Bukankah aneh 2 orang yang jatuh dari tangga setelah bertengkar hebat (mereka menduga Pak Gilbert berusaha merebut kaset ancaman tersebut dariku) sama sekali tidak mendapat luka benturan? Lagipula Pak Gilbert juga tidak terluka sama sekali. Hahaha, bodohnya orang-orang itu…

Setelah semua berhasil kujalankan, setelah aku membalaskan dendamku padanya, setelah dia tidak dapat berkutik lagi…kukira aku akan merasa puas. Kukira aku bisa bahagia melihatnya menderita. Tapi…nyatanya tidak, karena hingga saat ini aku masih berada di dunia fana ini, luntang-luntung sebagai sesosok hantu yang gentayangan… *********************************************

Yes, it is written in my mother's tongue language; Bahasa Indonesia. And yes, it is a story about a ghost, again... I dunno why a mystery story is interesting for me:-/ Maybe it's becoz my wild imagination and fantasies. I often think harder than other youngsters at my age. My thoughts are often deep, sensitive, vurnarable and out of place. I am a person who likes to think outside the box (remembering the lesson of Black Box and Glass Box given backthen in college).
This short story was chosen as the 2nd Best Teen Story at Surabaya Post writing competition. I knew I was going to win the competition, becoz I only competed with high school students all over the East Java. I hope I can compete in a different -higher- level and being able to come out as a winner, leaving the senior female outrageous writers like Ayu Utami, Fira Basuki, Dee, or bunch of names that I couldn't even mention. They all have a liberal spirit in their writings and in a way, I carried that spirit too, long time ago. So, yea, someday I am hoping to be a real productive writer. I don't wanna be as "heavy" as Ananta Toer or Budi Dharma that I would be nominated for a Noble Prize (daa...), I also don't wanna be too politic, or too feminist, or too literature/artistic in an idealistic way... I just wanna be myself, my very self, and write about anything that popped in my brain. My brain is my main power and asset that I won't trade for anything/ with anyone (yup! Not even with Albert Einsten, or Mozart). I'm very greatful of having a size of brain that is equal between the left side and the right side:p Thanks God for that...
So, guys, after any of you read my short story, you're welcome to give an opinion or critics, or...anything. Speak up, i'm here to listen...

2 comments:

Anonymous said...

Wawwwwww.........

keren!!!!!!
keren bangget ceritanya....
bagian2 terakhirnya bikin merinding....

wah2 yang nulisnya patut siajungin 4 jempol (jempol tangan 2 jempol kaki2)
wah2 salut ma yang nulis....

coolz said...

terima kasih ^_____^

pernah dimuat di surabaya post beberapa tahun yg lalu.

moga2 moodku baik jadi nyediain waktu buat nulis novel...