Udah lama benernya pengen nulis artikel soal rokok-merokok
ini. Apa boleh buat, belum ada waktu sampai detik ini. Berhubung kantor saya
diliburkan karena siaga I banjir, maka saya punya waktu luang deh buat
nulis...
Seperti yang warga Jakarta ketahui, larangan merokok di public places sekarang berlaku. Hampir di semua tempat umum sudah disediakan ruangan khusus untuk merokok. Nah, pertanyaannya, apakah ruangan tersebut benar-benar dimanfaatkan? Dimanfaatkan dalam arti para perokok benar-benar pergi ke sana untuk merokok dan tidak menyulut tembakau di luar. Yeah rite... Kalau kamu berada di lingkungan heavy smokers, kamu bakal tahu kalau para pecandu nikotin ini tidak kenal waktu dan tempat bila merokok. Fakta ini bisa jadi sangat menyebalkan, lho!
Bayangkan kamu keluar rumah dalam keadaan bersih dan wangi, lalu naik mobil sampai ke sebuah tempat tujuan yang full AC. Disana kamu duduk di sebuah cafe dan mulai memesan minuman (setelah sebelumnya bertanya pada pelayan apakah benar itu area "non smoking"). Niat untuk bersantai tau-tau lenyap, ketika kamu mendapati asap rokok bertiup ke arahmu dan semakin lama asapnya semakin tebal. Kamu batuk-batuk, tapi orang yang bersangkutan tidak juga sensitif. Jadilah kamu keluar dari cafe tersebut seperti orang yang baru saja keluar dari bar atau baru saja menghabiskan sebatang rokok sendiri. Sebal, bukan?
Sering terjadi yang dirugikan adalah mereka yang tidak merokok, tapi menjadi perokok pasif. Bagi saya yang bekerja di dunia periklanan, dimana perolehan ide sering dihubungkan dengan kegiatan merokok, saya termasuk cukup aneh karena tidak merokok. Tapi semakin saya melihat attitude orang-orang yang merokok, semakin saya hilang respek dan memantapkan diri untuk tidak menjadi bagian dari komunitas tersebut. Mengapa? Karena bagi saya, mostly perokok adalah orang yang egois. Orang yang ingin memperoleh kesenangan pribadi tanpa mempertimbangkan ketidaknyamanan orang-orang lain. Banyak sekali pekerja-pekerja kantor yang merokok secara sembunyi-sembunyi saat lembur di depan komputer, atau menyalakan rokok saat mereka berjalan kaki di trotoar tanpa melihat apakah rokok yang dipegangnya bisa mengenai orang yang berjalan di sebelah/ belakangnya.
Saya termasuk orang yang akan berhenti begitu berjalan di belakang orang yang merokok, sehingga membiarkan orang tersebut jalan dulu. Saya juga berani menegur para perokok yang tidak tahu diri merokok di cafe atau kendaraan umum sehingga asapnya mengganggu orang lain. Saya merasa berhak protes, karena menurut statistik mereka yang terkena dampak rokok mostly adalah perokok pasif. Berkaitan dengan hal tersebut, seorang teman memutuskan untuk merokok juga karena capek sekedar jadi perokok pasif. Haruskah kita menyerah pada konsumerisme yang destruktif seperti demikian?
Ketika rokok digunakan untuk menghalau rasa dingin dan mengurangi rasa sakit, saya sangat setuju. Tembakau memiliki menfaat positif. Tapi ketika kegiatan merokok dijadikan device untuk pembuktian diri, supaya dianggap "gaul" atau diterima lingkungan, saya jadi merasa kasihan. Sebegitu rendahnyakah keyakinan pada diri sendiri masyarakat masa kini? Rokok bukan saja akan menjadi komoditas yang mahal, tapi juga akan meninggalkan polusi. Spon yang digunakan di tiap batang rokok membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa terurai kembali... Bayangkan bila berjuta-juta orang yang merokok (dan mostly membuang sisa puntung sembarangan) menyebabkan penumpukkan sampah!
Saya tidak bermaksud menghakimi orang yang merokok. Itu sepenuhnya adalah pilihan hidup. Saya hanya ingin para perokok lebih peka terhadap lingkungannya. Saya tidak akan berkomentar jika ada orang yang ingin merusak dirinya sendiri dengan merokok, tapi saya tidak bisa tinggal diam dan menerima apabila perokok tersebut membawa serta orang lain ke liang kubur... Hehehe, serem baanget, tapi akibatnya memang seseram itu kan! Buat para perokok di luar sana, pleaseee be sensitive and respect other people. We understand your needs to smoke, but the question is: do you understand us??
No comments:
Post a Comment